Baru-baru ini kita
dikejutkan dengan dua peristiwa yang memilukan dan sekaligus memprihatinkan,
yakni kasus pelecehan seksual yang menimpa para pelajar di sejumlah sekolah
(JIS, Playgroup Saint Monica), dan kasus pelecehan seksual di Sukabumi dengan
korban mencapai ratusan (Kasus Emon).
Meski belum ditemukan
adanya kaitan langsung di antara kedua kasus tersebut, namun tampaknya ada
kesamaan dalam hal objek korban yaitu anak-anak usia pelajar di bawah umur, dan
subjek pelaku orang dewasa dengan penyimpangan orientasi seksual. Perhatian dan
kecaman luas memang muncul, namun sepertinya sulit untuk menyelesaikan akar
persoalan dan mencegah terulang kembali jika hanya sekedar pendekatan hukum
saja tanpa melibatkan langkah-langkah lainnya secara komprehensif.
Kemunculan kedua kasus
pengidap homoseks pedofilia merupakan bagian kecil dari fenomena penyimpangan
orientasi seksual yang ada di Indonesia. Disinyalir masih ada berbagai kasus
lain sejenis yang tidak terungkap ke publik, terutama di tengah semakin
berkembangnya fenomena Lesbian, Gay, Biseks, dan Transgender (LGBT) di
Indonesia. Memang belum ada data resmi tentang berapa jumlah penyandang LGBT di
Indonesia. Data Direktorat Administrasi dan Kependudukan (Depdagri, 2005)
diperkirakan ada 400 ribu Transgender (waria).
Sedangkan Yayasan Srikandi
Sejati merilis data yang lebih fantastik, yakni mencapai 6 juta waria pada
tahun 2008. Sementara itu, PBB memperkirakan ada sekitar 3 Juta pengidap
homoseks di Indonesia pada tahun 2011. Jika dari angka estimasi terendah yakni
berkisar empat ratusan ribu orang LGBT, dan ada 10% mereka yang menyalurkan
hasrat seksualnya secara paksa, maka dapat dibayangkan akan muncul ribuan kasus
kekerasan seksual yang menimpa anak-anak maupun orang dewasa.
Epidemi Sosial
Tidak dapat dipungkiri
bahwa maraknya fenomena LGBT sangat terkait dengan tren negara-negara liberal
yang memberikan pengakuan dan tempat bagi penyandang LGBT di tengah-tengah
masyarakat. LGBT dianggap sebagai bagian life style masyarakat modern yang
menganggap pandangan heteroseksualitas sebagai konservatif dan tidak berlaku
bagi semua orang. Bahkan, lebih dari 11 negara, diantaranya Belanda, Belgia,
Spanyol, Swedia, melegalkan perkawinan sejenis dan menjadi surga bagi LGBT
untuk menunjukan eksistensi sosialnya, sekaligus menyalurkan hasrat seksual.
Kebebasan dan hak asasi kemudian menjadi dalih atas kebijakan tersebut.
Hingga saat ini masih
terjadi pergolakan di negara-negara Barat, terutama kelompok konservatif yang
memegang teguh nilai-nilai keluarga dan teologis yang secara gigih menentang
praktek penyimpangan seksual tersebut. Lihat saja sikap pemimpin Gereja Katolik
Perancis, Kardinal Phillipe Barbarin yang menyebut bahwa legalisasi atas
pernikahan sejenis akan meruntuhkan tatanan hidup masyarakat.
Di Amerika Serikat sendiri
hanya sekitar empat negara bagian yang menyetujui pengakuan terhadap pernikahan
sejenis. Penolakan juga muncul dari kalangan profesional, Brendan Eich, CEO
Mozilla yang mengundurkan diri secara tegas menolak pernikahan sejenis di
negara bagian California. Bahkan, Brendan Eich menyatakan apresiasinya terhadap
gerakan anti LGBT di Indonesia dengan kultur timur yang menjunjung
religiusitas.
Secara gencar para
penyandang LGBT ini mensosialisasikan diri dan nilai-nilai seksualitas yang
mereka anut dengan mengambil momentum kebebasan yang demikian terbuka. Industri
budaya pop, terutama industri kreatif di bidang entertainment seperti musik,
sinetron dan film menjadi alat yang strategis untuk menyebarkan cara pandang,
gaya perilaku dan eksistensinya pada publik, hampir seluruh lapisan usia dan
strata sosial. Lemahnya mekanisme sensor dan kritisisme publik menjadikan
proses penetrasi nilai-nilai LGBT menjadi semakin efektif.
Targetnya adalah
terciptanya proses habituasi (pembiasaan) dan adaptasi (penyesuaian) bagi
masyarakat terhadap LGBT, sehingga akhirnya masyarakat akan menerima fenomena
penyimpangan orientasi seksual yang jelas-jelas bertentangan dengan norma agama
dan nilai-nilai sosial bangsa sebagai kelaziman, terbiasa dan bahkan tersugesti
untuk masuk dalam kondisi yang mereka sebut sebagai hak azasi yang tergantung
pada pilihan individu masing-masing.
Selain memanfaatkan media
industri hiburan, LGBT bahkan telah memasuki arena politik dengan jaringan loby
yang kuat. Lihat saja jumlah negara yang semakin banyak melegalisasi pernikahan
sejenis dan para politisi yang secara terbuka menunjukan simpati dan dukungan
politiknya. Setidaknya sejumlah pemimpin negara besar di dunia menunjukan sikap
akomodatif terhadah kaum gay dan lesbi seperti PM Inggris, David Cameron,
Barrack Obama, Francois Hollande. Dukungan tersebut telah membawa dunia dalam
ambang bahaya akibat agresi dalam skala yang masif terhadap nilai-nilai
keluarga, moral publik, dan masa depan dunia.
Di Indonesia sendiri,
memang saat ini belum ada politisi yang berani secara terbuka mendukung praktek
penyimpangan seksual ini. Namun tidak menutup kemungkinan ketika penetrasi
nilai dan pengakuan sosial kaum LGBT ini telah masif, akan merubah haluan para
politisi yang memang cenderung melihat kesempatan berdasarkan kalkulasi potensi
dukungan suara. Kaum LGBT kemudian semakin berani muncul di tempat publik
dengan mempertontonkan identitasnya yang kini tidak lagi dianggap tabu.
Legitimasi sosial muncul
dengan pembelaan ilmiah dan teologis secara apriori guna memperkuat klaim
tentang eksistensi maupun tujuan-tujuan sosial mereka. Situasi itulah yang
kemudian membuat LGBT menyebar demikian pesat sebagai epidemi sosial.Tidak lagi
hanya fenomena kota besar, tetapi hampir diseluruh wilayah dan lapis sosial.
Kewaspadaan Sosial
Memang LGBT itu bukan kejahatan, tetapi memiliki potensi menghasilkan kejahatan seperti kekerasan seksual, penyebaran penyakit seksual dan agresi terhadap nilai-nilai publik. Namun demikian, kita harus bijak karena penyandang LGBT bisa saja merupakan korban maupun pelaku. Sejumlah penelitian menunjukan bahwa LGBT bisa muncul akibat pengalaman traumatik (korban kekerasan seksual) maupun faktor genetik yang mempengaruhi struktur kromosom yang menunjukan jenis kelamin. Namun demikian, LGBT juga dapat muncul sebagai dampak dari interaksi sosial yang keliru sehingga ikut mengalami penyimpangan seksual (sosial disease).
Hal itu menempatkan bahwa penyandang LGBT bisa
saja merupakan pelaku sekaligus korban yang kedua-duanya perlu mendapat
perhatian yang tepat agar mereka bisa menyesuaikan dan mengintegrasikan diri
dalam masyarakat yang normal. Jikapun hal itu tidak mungkin, maka setidaknya
mereka tidak akan menjadi ancaman sosial yang membahayakan.
Merespon maraknya kejahatan
seksual, terutama terkait dengan LGBT, masyarakat harus mampu mengembangkan
kewaspadaan sosialnya. Begitupula negara tidak bisa lepas tangan dan berlindung
di balik penghargaan terhadap hak asasi warga negara. Negara memiliki kewajiban
untuk menjaga nilai-nilai dan standar moral yang dianut oleh publik mayoritas.
Berbagai tontonan yang tidak layak dan melegitimasi perilaku penyimpangan
seksual harus dievaluasi kembali.
Begitupula sikap tegas
dalam merespon tuntutan pengakuan seksualitas dan perkawinan sejenis. Negara
tidak boleh melegalkan agresi terhadap moralitas dan nilai-nilai publik. Tanpa
standar moral dan menjaga nilai-nilai yang diyakini publik, niscaya bangsa itu
akan kehilangan generasi penerus bagi masa depannya.Penyandang LGBT jika tidak
diwaspadai akan menjadi predator seksual bagi orang normal dan merusak masa
depan para pewaris masa depan bangsa.
Ezra Soterion N.
1506731712
Sumber : http://leuserantara.com/artikel-lgbt-sebagai-ancaman-sosial/#sthash.RhswkYjP.dpuf
No comments:
Post a Comment