Saturday, September 12, 2015

Tantangan Pemuda


Tak ada perubahan di dunia ini yang tak melibatkan pemuda. Dalam sejarah bangsa-bangsa besar mana pun, peran pemuda bersifat niscaya. Demikian pula dalam riwayat negeri kita. Salah satu tonggak terpenting bagi Indonesia adalah Kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda.

Setelah 85 tahun, tantangan akan kesatuan tanah air dan bangsa tetap ada. Juga tantangan bahasa persatuan selalu muncul dalam bentuk yang tentu berbeda dengan era 1928. Hal yang tak pernah berubah adalah peran para pemuda dalam mengatasi tantangan itu. Pemuda tetaplah penentu  sejarah dan pelopor perubahan, sebagaimana para pendiri bangsa melakukannya pada masa-masa awal republik kita. Kekuatan pemuda tergambar jelas dalam kata-kata Bung Karno, “Beri aku 10 pemuda, maka akan aku goncangkan dunia.” Guncangan macam apa yang bisa lahir dalam 70 jutaan pemuda Indonesia saat ini? Bisakah mereka memberi warna terhadap perjalanan bangsanya atau bahkan menentukan arah dunia?

Tantangan bias jadi tidak sehitam-putih dulu, bukan lagi sekadar satu Negara kolonialis. Pemuda-pemuda kini harus berhadapan dengan situasi baru, seperti globalisasi, dunia yang mengerut, pergaulan antarbangsa, perdagangan bebas, lalulintas antarnegara, internet, isu lingkungan, hingga terorisme. Apa yang pemuda kita bisa perbuat dalam situasi tersebut? Ikatan nusa, bangsa, dan bahasa adalah modal awal kita yang luar biasa. Tantangan  berikutnya adalah bagaimana kita menghadapi derasnya aru impor. Bagaimana kita meningkatkan kualitas ekspor. Bagaimana kita bertahan dalam bursa tenaga kerja yang kian melebur satu.

Para pemuda yang jumlahnya mencapai sepertiga penduduk negeri seharusnya menjadi bonus pembangunan. Mereka berada dalam usia paling produktif, penuh ide, kaya akan kreativitas. Dengan populasi yang mencapai tiga kali lipat warga Malaysia atau 17 kali penduduk Singapura, semestinya pemuda-pemuda kita yang mengambil peran besar saat Masyarakat ASEAN terwujud pada 2015 mendatang.

Tentu ini bukan sekedar isu ekonomi. Kita tidak bisa lagi menjadi buih di lautan. Banyak tenaga tapi miskin peran. Kekuatan terbesar kita haruslah pada manusianya. Bukan waktunya lagi berbangga dengan pengekspor barang-barang alam yang miskin sentuhan. Sudah saatnya kita memasuki baru lapangan kerja baru dunia yang mendidik. Tantangan baru membutuhkan pemahaman terbaik kita pada dunia maju dan modern. Ini bukan soal gaya hidup kosmetik atau kemasan, tapi nilai-nilai produktif dibaliknya. Modernitas sesungguhnya tercermin pada kultur kerja keras, bersih, disiplin, terbuka, tepat waktu, dan sikap saling menghormati satu sama lain.

Faris Maulana Y
1506733964
Geofisika UI 2015

No comments:

Post a Comment