"All our science, measured against reality, is primitive and childlike and yet it is the most precious thing we have.” -Albert Einstein-
Bila kita renungkan ucapan ilmuwan yang terkenal dengan teori relavisitasnya tersebut, kita akan merasa miris dengan perkembangan sains di negeri ini.
Belum lama ini saya berkesempatan menghadiri kuliah umum selama dua minggu di Planetarium yang diselenggarakan oleh Himpunan Astronom Amatir Jakarta (HAAJ). Kebetulan saya memang sudah lama tidak menyempatkan diri datang ke HAAJ, maka dari itu saya berharap dapat bertemu kawan-kawan lama. Tidak diduga yang menjadi pembicara adalah kawan lama saya yang sekarang berkuliah di jurusan Astronomi ITB. Ketika sesi tanya jawab dilakukan, saya bertanya masalah worm hole dan hubungannya dengan ekspansi galaksi, topik yang sedang dibahas waktu itu. “maaf mas, silakan memperkenalkan diri dulu”, moderator meminta saya untuk memperkenalkan diri. “Ga usah..ga pa pa, yang tadi bertanya itu mas Pras, orang yang pertama kali saya temui di Planetarium sewaktu heboh planet Mars mendekati Bumi”, timpal Dias sambil tertawa melihat saya yang bertanya dengan gaya resmi.
Singkat, setelah acara Dias mengajak saya mengobrol di bangku belakang. Saya tanya bagaimana kuliah di Astronomi ITB apakah sempat menggunakan teleskop Zeiss yang menjadi terkenal setelah tampil dalam film petualangan Sherina. “Wah mas, saya sih malah jadi jarang pengamatan langit sejak di Astronomi, yang ada cuma berkutat sama data-data astronomi” sahut Dias. Kejutan juga saya mendengar hal ini, tapi bukan juga hal yang asing. Maka dari itu muncul istilah Astronom amatir seperti saya yang lebih menikmati hobi mengamati langit daripada melakukan perhitungan orbit komet atau persamaan matematik di black hole. Saya serahkan saja pekerjaan ngejelimet itu pada teman-teman di jurusan Astronomi ITB.
“Udah niat mau penelitian apa Dias”, tanya saya. Dias berkata, “Belum menentukan topik nih, ada ide mas?”. Saya yang ditanya begitu bilang terus-terang bahwa saya cuma suka mengamati langit tapi tidak terlalu suka menelitinya. “Kenapa ga tanya sama senior yang udah lulus Dias? mereka mungkin punya topik di tempat kerja mereka?”, saya balik bertanya. “Di jurusan Astronomi jarang yang beruntung bisa bekerja di observatorium, kan jumlahnya sedikit di Indonesia, paling banyak ya di bank mas”, timpal Dias.
Saya termenung agak lama mendengar jawaban Dias tadi. Bukan. Bukan saya prihatin pada jurusan astronomi, melainkan hal yang sama terjadi di jurusan saya Biologi UI. Banyak dari teman-teman saya lulusan dari Biologi UI yang ‘terpaksa’ berkarir di tempat lain, contoh yang paling gampang ya itu Perbankan. Bukannya tidak mau untuk berkarir di dunia sains, tetapi lagi-lagi, jumlah lowongan kerja di bidang itu sangat terbatas. Banyak juga teman-teman saya dari jurusan sains (Fisika, Kimia, Biologi dan Astronomi) yang menyambi mengajar baik di bimbel maupun di sekolah. Mereka kebanyakan masih mendamba bekerja di bidang riset, baik di departemen pemerintah macam LIPI, BATAN dan Puspitek, atau Divisi Riset di perusahaan swasta. Tapi apa daya, ternyata penelitian sudah bukan prioritas dari pemerintah kita.
Manfaat dari sains bisa dikatakan tidak bisa secara langsung dan cepat dirasakan oleh masyarakat. Kadang kita sering mencampuradukan istilah sains dengan teknologi. Teknologi adalah sisi sains dalam bidang aplikasi, sedangkan sains adalah sisi lain dari teknologi untuk mengembangkan dirinya sendiri. Tanpa teknologi sains hanyalah kumpulan teori dan data eksperimen yang bertumpuk di lembaran-lembaran jurnal penelitian. Tanpa sains, teknologi hanya akan melakukan pengulangan tema atau paling maju melakukan proses “trial and error” buta untuk mencipta hal yang baru. Ketidak pahaman kita akan dua bidang ini yang menimbulkan kehancuran pada masa depan negara kita.
Indonesia terfokus pada teknologi semata untuk mengejar ketertinggalan kita dari negara-negara maju. Kita hanya terpaku meniru desain berbagai mesin dari luar, atau parahnya lagi hanya dapat mengimpor segala produk jadi teknologi yang ditawarkan dari luar.
Tiap dari industri memerlukan sains masuk dalam salah satu divisinya yaitu R n D untuk menang dari kompetitornya. Begitu juga negara, perlu membangun basis penelitian saintifik untuk menang dalam globalisasi. Kita dapat membayangkan apabila perusahaan sekelas Microsoft tidak punya divisi riset, mereka hanya mengkopi teknologi dari kompetitornya yaitu Apple inc. Jika itu yang terjadi maka kita tinggal menunggu waktu untuk melihat Bill gates menggadaikan rumahnya dan mulai menyusuri iklan lowongan pekerjaan di Kompas edisi sabtu. Malaysia dengan Petronasnya sudah jauh meninggalkan Pertamina yang bekas gurunya karena membangun divisi riset yang baik dalam pengelolaan minyak. Kuba telah maju dalam ilmu kedokteran karena menggratiskan kuliah kedokteran sambil mengirim dokter2nya belajar ke seluruh dunia. Kota kecil Khanty-Mansi di dataran beku Siberia bekas tempat pembuangan di masa Uni Soviet, membuka lowongan ilmuwan dari bidang apa saja untuk bekerja dikotanya sambil membangun pusat riset di tengah Taiga beku. Karena mereka meyakini sumber daya minyak tidak akan kekal, tapi ilmu pengetahuan akan kekal adanya.
Berkarir dalam bidang sains bukan hanya sebagai pengajar, baik itu dosen ataupun guru. Walau memang pendidikan sains merupakan mata rantai untuk kelangsungan produksi peneliti di masa datang. Inilah yang harus diyakini oleh masyarakat. Saya pernah ditanya oleh seorang seperti berikut:
“mas lulusan jurusan apa?”, saya jawab “ohh saya dari MIPA pak”. “Wah MIPA tuh lulusannya yang jadi guru itu ya?”, saya mencoba memberi pencerahan dan menjawab “engga juga pak, banyak yang bekerja di LIPI, Lembaga Biologi molekuler Eijkman, Badan Tenaga Atom Nasional, LAPAN, Puspitek serpong, Herbarium dan Kebun Raya Bogor, LSM lingkungan macam Kehati, WWF, Conservation International, tenaga riset perusahaan transgenik Multinasional Monsanto, Forensik di Polri, Quality control di Pabrik-pabrik seperti Danone atau Mayora, Tenaga riset peneliti di Departemen Kelautan, Kehutanan atau Perhutani, Pengusaha ekoturisme diving atau wildlife tour, Jurnalis atau kontributor untuk media-media macam National Geographic, Discover, New Scientist dan Scientific America, Editor atau penterjemah buku-buku sains populer seperti di KPG atau di Erlangga dan banyak deh pak”, ujar saya terengah-engah. Bapak tersebut manggut-manggut sambil berkata, “begitu ya..berarti saya yang kuper ya mas, mas sendiri kerja di mana?”. “Saya jadi guru pak”, ucap saya menutup pembicaraan.
sumur : https://www.zenius.net/blog/24/msc-mad-scientist-ssi-sarjana-sinting
-irwan ardiansyah-1506725911-Geofisika
No comments:
Post a Comment