Friday, September 18, 2015

Potret Kehidupan Pinggir Rel

Saya adalah salah satu pengguna moda jasa transportasi kereta api. Selain lebih murah, pelayanan KRL pada saat ini saya rasa cukup baik dan nyaman bagi penumpang. Jika saya boleh menilai, PT KAI adalah salah satu perusahaan yang sukses memperbaiki image dan pelayanan secara umum.

Namun, baik KRL yang beroperasi dalam maupun luar kota memiliki kesamaan. Jika kita memperhatikan situasi disekitar rel, kita tidak jarang menjumpai pemukiman kumuh yang padat penduduk. Pemukiman illegal ini bahkan sangat tidak layak untuk dijadikan tempat tinggal. Pembatas yang digunakan sebagai tembok sering kali hanya berupa papan triplek atau pun kain. MCK yang digunakan adalah MCK bersama.

Bukan sekedar pemukiman, wilayah ini juga dijadikan tempat berdagang. Aktivitas pergadangan ini dilakukan bahkan dengan membuka lapak diantara dua rel kereta api. Penduduk biasa menyebutnya “pasar kaget” karena ketidaklaziman tempatnya.

Sumber: old.tzuchi.or.id
Padahal berdasarkan peraturan pemerintah melalui Undang-undang KA Nomor 13 Tahun 1992 dengan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 69, wilayah sekitar 11 meter sisi rel kereta tidak diperkenankan mengadakan kegiatan apa pun, selain lalu lintas perjalanan kereta. Namun, PT Kereta Api Indonesia (KAI) tetap kesulitan menerapkan aturan tersebut.

Ironisnya, ternyata gubuk-gubuk yang berdiri diatas lahan milik negara ini tidak gratis. Penghuni gubuk membayar sewa gubuk kepada sejumlah oknum yang ‘berhak’ atas kepemilikan lahan tersebut. Bahkan, ternyata gubuk-gubuk tersebut juga dapat dibeli melalui oknum yang bersangkutan.

Fenomena sosial ini bisa disebabkan karena pendatang yang masuk tidak disertai dengan kemampuan untuk berkompetisi di ibukota. Mereka silau dengan segala kemudahan yang ditawarkan tanpa memiliki kompetensi yang cukup. Hal-hal seperti ini tentunya sudah diantisipasi oleh Dinas Sosial setempat. Relokasi terhadap warga pemukiman kumuh ini sudah sering diwacanakan. Namun, masalah ini telah dibiarkan berlarut-larut sehingga relokasi menjadi sulit karena masyarakat telah merasa berhak atas kepemilikan lahan tersebut.

Namun yang tidak kalah menarik, tidak jarang kita jumpai mobil-mobil terparkir dan terbungkus rapat di pinggir rel. Ternyata, mobil tipe mini bus yang saya lihat adalah milik penduduk sekitar. Seakan hanya memenuhi tuntutan gengsi semata.

Mungkin jika gerbong ini bisa bercerita, ia juga segan untuk melewati tempat-tempat seperti ini. Mungkin ia juga menjerit ketika masih ada orang yang duduk di depannya ketika ia akan melintas. Entah sampai kapan kondisi ini akan terus berlanjut. Namun percayalah bahwa suatu saat nanti kita dapat menciptakan kondisi yang jauh lebih baik dari saat ini.



Selamat Malam,
Putri Allysha Sekararum
1506725426

Geofisika UI 2015

dirangkum dari berbagai sumber

No comments:

Post a Comment