Saya adalah salah satu pengguna
moda jasa transportasi kereta api. Selain lebih murah, pelayanan KRL pada saat
ini saya rasa cukup baik dan nyaman bagi penumpang. Jika saya boleh menilai, PT
KAI adalah salah satu perusahaan yang sukses memperbaiki image dan pelayanan secara umum.
Namun, baik KRL yang beroperasi
dalam maupun luar kota memiliki kesamaan. Jika kita memperhatikan situasi
disekitar rel, kita tidak jarang menjumpai pemukiman kumuh yang padat penduduk.
Pemukiman illegal ini bahkan sangat tidak layak untuk dijadikan tempat tinggal.
Pembatas yang digunakan sebagai tembok sering kali hanya berupa papan triplek
atau pun kain. MCK yang digunakan adalah MCK bersama.
Bukan sekedar pemukiman, wilayah
ini juga dijadikan tempat berdagang. Aktivitas pergadangan ini dilakukan bahkan
dengan membuka lapak diantara dua rel kereta api. Penduduk biasa menyebutnya “pasar kaget” karena ketidaklaziman
tempatnya.
Sumber: old.tzuchi.or.id
Padahal berdasarkan peraturan
pemerintah melalui Undang-undang KA Nomor 13 Tahun 1992 dengan turunan
Peraturan Pemerintah Nomor 69, wilayah sekitar 11 meter sisi rel kereta tidak
diperkenankan mengadakan kegiatan apa pun, selain lalu lintas perjalanan
kereta. Namun, PT Kereta Api Indonesia (KAI) tetap kesulitan menerapkan aturan
tersebut.
Ironisnya, ternyata gubuk-gubuk
yang berdiri diatas lahan milik negara ini tidak gratis. Penghuni gubuk
membayar sewa gubuk kepada sejumlah oknum yang ‘berhak’ atas kepemilikan lahan
tersebut. Bahkan, ternyata gubuk-gubuk tersebut juga dapat dibeli melalui oknum
yang bersangkutan.
Fenomena sosial ini bisa
disebabkan karena pendatang yang masuk tidak disertai dengan kemampuan untuk
berkompetisi di ibukota. Mereka silau dengan segala kemudahan yang ditawarkan
tanpa memiliki kompetensi yang cukup. Hal-hal seperti ini tentunya sudah
diantisipasi oleh Dinas Sosial setempat. Relokasi terhadap warga pemukiman
kumuh ini sudah sering diwacanakan. Namun, masalah ini telah dibiarkan
berlarut-larut sehingga relokasi menjadi sulit karena masyarakat telah merasa
berhak atas kepemilikan lahan tersebut.
Namun yang tidak kalah menarik, tidak jarang kita jumpai mobil-mobil terparkir dan terbungkus rapat di pinggir rel. Ternyata, mobil tipe mini bus yang saya lihat adalah milik penduduk sekitar. Seakan hanya memenuhi tuntutan gengsi semata.
Mungkin jika gerbong ini bisa
bercerita, ia juga segan untuk melewati tempat-tempat seperti ini. Mungkin ia
juga menjerit ketika masih ada orang yang duduk di depannya ketika ia akan
melintas. Entah sampai kapan kondisi ini akan terus berlanjut. Namun percayalah
bahwa suatu saat nanti kita dapat menciptakan kondisi yang jauh lebih baik dari
saat ini.
Selamat Malam,
Putri Allysha Sekararum
1506725426
Geofisika UI 2015
dirangkum dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment