Aku Pemimpinku
Saat kita melihat barisan semut yang segaris
mengikuti alur perjalanan tiap-tiap anggotanya, kita menyadari betapa luar
biasanya ciptaan tuhan yang bukan manusia mampu melakukan keajaiban seperti
itu. Bagitu juga saat manggambarkan susunan planet-planet dalam tata surya
kita, bahkan benda-benda mati tersebut tidak saling berebut posisi untuk
mendekati atau menjauhi matahari, mereka tetap berada pada lintasan
masing-masing tanpa saling bertubrukan.
Lalu siapakah yang berperan dibalik semua itu?
Apakah semut-semut hanya berjalan tanpa arah dan tujuan? Atau planet-planet secara
tidak sengaja bergerak demikian? Tentu saja tidak. Semua hal yang terjadi di
alam semesta ini bukanlah suatu kesengajaan yang terjadi begitu saja tanpa ada
yang mengaturnya.
Jika kita telaah lebih teliti lagi, dapat
kita saksikan bahwasannya semut memiliki seekor ratu yang mereka semua patuh
kepadanya. Begitu juga planet yang memiliki pencipta yang mengatur keadaan
mereka sedemikian rupa agar berjalan sebagaimana mestinya.
Pemimpin, itulah satu kata yang mewakili
peran penting dari suatu subjek yang mengatur hal-hal tersebut agar berjalan lancar
dan teratur. Kata pemimpin kerap disandarkan dengan orang yang memiliki
kekuasaan atas suatu kaum. Namun apakah definisi pemimpin hanya sedangkal itu?
Kalau memang begitu maka tidak semua orang atau benda apapun dapat menjadi
pemimpin. Hanya segelintir pihak yang beruntung mempunyai kekuasaan sehingga
mampu disebut sebagai pemimpin.
Itulah pemahaman yang selama ini keliru.
Pemahaman bahwa hanya beberapa orang sajalah yang mampu menjadi pemimpin. Pada
kenyataannya, semua yang ada di alam semesta ini adalah pemimpin. Kita,
tiap-tiap manusia, merupakan seorang pemmimpin. Tentu saja, begitu banyak hal
yang dilakukan sistem dalam tubuh kita, begitu pula dengan aktivitas harian
kita yang terbagi dalam waktu dan tempat yang beraneka ragam, juga hubungan
kita dengan bukan satu orang saja.
Sebagaimana kita ketahui, pemimpin selain
memiliki yang namanya kekuasaan, juga mengatur sistem, aktivitas serta hubungan
dan sosialisasi atas apa yang dipimpinnya. Maka dari itu sudah sepatutnyalah
setiap manusia merupakan pemimpin dengan kekuasaan penuh atas dirinya sendiri.
Maka, jika setiap manusia adalah pemimpin,
tentu saja memiliki tanggung jawab yang harus dipikul atas kekuasaannya.
Tanggung jawab manusia sebagai pemimpin dirinya sendiri bukanlah suatu hal yang
sulit untuk dipahami. Kita sebagai manusia hanya perlu memberikan yag terbaik
atas diri kita, manjaga diri kita dan memberikan perubahan ke arah yang lebih
baik pada diri kita, dengan begitu kita dapat disebut sebagai pemimpin yang
berhasil minimal atas memimpin dirinya sendiri.
Namun kebanyakan manusia tidak mampu melkukan
hal tersebut. Banyak yang menelantarkan dirinya, banyak yang menjerumuskan
dirinya, dan banyak yang tidak bertanggung jawab atas dirinya. Jika kita ingin
memimpin dalam jangkauan yang lebih besar, tentu saja kita harus mengatur
sebaik mungkin segala yang ada dalam diri kita, barulah kita mulai mencari dan
memperluas daerah kekuasaan dengan tanggung jawab atas diri orang lain.
Sekarang ini banyak kita lihat berbagai kasus
memprihatinkan yang melanda peradaban umat manusia, kasus KDRT, kasus korupsi,
bahkan nilai mata uang pun saat ini turun. Itulah akibat jika para oknum yang
belum siap menangani daerah kekuasaan yang lebih besar memaksakan diri mereka,
akibatnya, apa yang mereka atur tanpa keahlian yang cukup itu menjadi menderita
dan sengsara.
Saat seorang suami yang belum mampu menjadi
pemipin bagi istrinya memaksakan diri, maka istrinyalah yang akan hidup
sengsara, saat seorang pejabat mamaksakan diri mengatur kekayaan negara sedang
ia masih belum bisa mengendalikan nafsu dirinya, maka rakyat sebagai pemilik
kekayaan negaralah yang hidup sengsara, dan saat seorang presiden yang
memaksakan diri untuk menjadi presiden tanpa keahlian yang memadai untuk
mengatur bangsa dan negaranya, maka inilah yang terjadi, kita dapat menyaksikan
akibatnya saat ini.
Tidak perlu disebutkan satu persatu apa saja
kekacauan yang terjadi saat ini, karena lembaran kertas tidak akan cukup
mendeskripsikan betapa hancurnya nusantara tanah ibu pertiwi. Rintihan dan
tangisan dimana-mana, unjuk rasa tak henti-hentinya, dan ketukan palu terus
berisik menetapkan salah benar sesuatu tanpa ada perubahan berarti setelahnya.
Jadi, siapa yang bertanggung jawab atas semua
ini? Apakah pemimpin berhak menyalahkan rakyat yang telah memilihnya dan
menaruh kepercayaan yang begitu besar, jika memang tidak mampu menepati janji,
tidak usah berjanji, atau pemimpinlah yang disalahkan akibat tidak dapat
memegang amanah yang telah diberikan kepadanya? Semua kembali lagi kepada hal
yang tadi, bahwasannya seseorang tidak boleh memaksakan diri untuk menjangkau
kekuasaan yang lebih besar jika memang dirasa belum mampu untuk mengendalikan
kekuasaan sebelumnya. Dari hal tersebut, kita sudah mengetahui siapa yang patut
disalahkan saat ini, tetapi menyalahkan seseorang tidak ada gunanya jika ia
tidak mau dan tidak mampu mengoreksi dirinya.
Inti yang ingin saya sampaikan adalah,
sebelum memulai sesuatu yang besar mulailah dari yang kecil terlebih dahulu, maka
sebelum bermaksud ambil bagian dalam tanggung jawab yang lebih besar, mulailah
bertanggung jawab atas yang telah dititipkan sejak lahir, mulailah bertanggung
jawab atas diri kita, karena saat kita telah mampu menjadi pemimpin bagi diri
kita sendiri dan bertanggung jawab menjadikan diri kita lebih baik, saat itulah
tanggung jawab yang lebih besar akan mulai mengampiri kita dengan sendirinya
karena setiap hal ada takarannya agar bejalan lancar, tentram dan sejahtera.
Seseorang pernah bercerita tentang pengalaman
hidupnya, saat beliau kecil beliau ingin menjadi presiden dan mengubah
negaranya, dengan begitu, beliau mampu mengatur para mentri agar bertugas
dengan baik, mampu mengatur kepala derah agar memimpin daerahnya dngan baik,
dan mampu mengatur organisasi-organisasi kecil agar berjalan sesuai dengan
tujuan dan yang terpenting mampu mengubah nasib keluarganya yang hidup susah.
Namun setelah beliau tua, beliau masih belum bisa mewujudkan semua itu. Beliau
kembali mengatur pola pikirnya, jika saja saat kecil beliau mulai mengubah
dirinya sendiri, lalu menyejahterakan keluarganya, bergabung dalam organisasi,
baru berlanjut menjadi kepala daerah, dan setelah menyejahterakan daerah baru
mnyejahterakan negaranya, pasti hasilnya akan berbeda, tetapi waktu tidak bisa
diulang, itu adalah nasihat bagi generasi penerus berikutnya. Jadi, mulailah dari diri sendiri.
No comments:
Post a Comment