Saturday, October 10, 2015

Tolak Revisi UU KPK




KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah suatu lembaga negara yang bertujuan untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ini berdasarkan dengan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK sendiri memiliki visi yaitu “Menjadi lembaga penggerak pemberantasan korupsi yang berintegritas, efektif, dan efisien!”. Dan untuk mencapai visi tersebut, KPK memiliki misi sebagai berikut:

1. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan Tindak Pidana Korupsi
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
            Berdasarkan Bab II pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK memiliki tugas sebagai berikut:


a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas yang telah disebutkan pada Pasal 6 huruf a, KPK juga memiliki wewenang yang telah diatur dalam Bab II pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 yaitu:
a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada
instansi yang terkait;
d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan KPK antara lain:

1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
            Namun akhir-akhir ini, 45 orang anggota DPR mengajukan Revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terlihat jelas bahwa pengajuan revisi tersebut dipandang merupakan salah satu upaya untuk melemahkan KPK. Dalam rangkaian usulan revisi tersebut, berikut adalah 5 hal diantara 15 poin kontroversial dari revisi UU tersebut yaitu:

1. Pembubaran KPK, 12 tahun setelah draf RUU resmi diundangkan

Pasal 5
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan.
Sangat jelas dilihat dari pasal revisi ini bahwa, ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yang berarti bahwa para koruptor di negeri  ini akan semakin leluasa.

2. KPK tak berwenang melakukan penuntutan

Pasal 7 huruf d
"Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi yang diatur di dalam Undang-undang ini dan/atau penanganannya di kepolisian dan/atau kejaksaan mengalami hambatan karena campur tangan dari pemegang kekuasaan, baik eksekutif, yudikatif, atau legislatif.”
(Padahal, dalam Pasal 6 huruf c UU No. 30 tahun 2002, salah satu tugas KPK adalah ”melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.”)
            Dapat terlihat bahwa revisi tersebut berusaha menghilangkan salah satu tugas dari KPK, hal ini mengakibatkan KPK tidak akan bisa bergerak untuk menuntut tersangka korupsi.

3. Pelimpahan kasus ke Kejaksaan dan Kepolisian 

Pasal 13
          Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan tindak pidana korupsi yang:




a. melibatkan penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
c. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara dengan nilai dibawah 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi

(Pada UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK, jumlah nominal kerugian sebagai kriteria untuk melimpahkan kasus ke Kejaksaan dan Kepolisian tidak disebut. Bahkan, Pasal 8 (2) menyebut "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.”)
           Dalam pasal revisi ini, memungkinkan adanya permainan antara kejaksaan dan kepolisian yang lebih leluasa. Terutama apabila tertuduh merupakan salah satu anggota dari kejaksaan ataupun kepolisian tersebut. Dalam hal menyangkut kerugian Negara paling sedikit 50 miliar rupiah, hal ini merupakan salah satu hal yang tidak rasional mengingat angka 50 miliar rupiah bukanlah nominal yang sedikit. 
4. Permintaan izin sebelum melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. 
Pasal 14 Ayat (1) huruf a  
           KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari ketua pengadilan negeri
(Dalam Pasal 12 (1) huruf a UU No.30 Tahun 2002 disebutkan bahwa KPK berwenang untuk, “melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.”)
          Hal ini akan sangat menyulitkan KPK dalam melaksanakan salah satu tugasnya yaitu penyidikan. Terutama apabila ketua pengadilan negeri tidak mengizinkan, maka kasus yang ditangani kpk tidak dapat ditindak lanjuti. Bahkan sebenarnya, penyadapan dan merekam inilah yang selalu berhasil dilakukan oleh KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi. 
5. KPK tidak memiliki penuntut  
Pasal 53 (1) 
        Penuntut adalah jaksa yang berada di bawah lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan melaksanakan penetapan hakim  
(Dalam pasal 51 (1) UU No.30 Tahun 2002 disebutkan, “Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.”)
          Poin revisi ini memungkinkan terbukanya jalan adanya permainan dalam penyelesaian kasus yang ditangani KPK.
          Sesungguhnya, revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tersebut sangatlah tidak perlu dilakukan, mengingat pentingnya Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia ini. Jangan biarkan koruptor semakin melenggang bebas menggerogoti hak-hak rakyat Indonesia. Banyak orang mati kelaparan akibat hak-haknya dirampas. “Koruptor akan merajalela bila orang-orang baik membiarkannya”- Gerakan Anti Korupsi (GAK)



Sumber :
1. http://www.rappler.com/indonesia/108452-15-kontroversi-revisi-uu-kpk
2. http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151007_indonesia_ruu_kpk_limahal
3. https://kpk.go.id/gratifikasi/images/pdf/UU_30.pdf
4. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Nama : Abriyanto Putra S.N.
Jurusan/NPM : Geologi 1506729550

No comments:

Post a Comment